Apakah pernah terbersit dibenak kita
tentang dari mana asal kalimat habis gelap terbitlah terang?, yang merupakan
judultulisan RA Kartini yang fenomenal itu?. Berikut ceritanya:
RA Kartini adalah salah satu murid Kyai Sholeh Darat.
Kepada teman-temannya,
bangsa Belanda Kartini tidak menceritakan pertemuannya dengan Kyai Sholeh bin
Umar dari Darat, Semarang yang lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat.
Adalah Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, yang menuliskan kisah
ini.
Takdir, menurut Ny Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan
Kyai Sholel Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati
Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.
Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah.
Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan
mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang
disampaikan sang penceramah.
Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al
Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.
Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya
menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini
merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.
“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila
seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.
Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya
demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.
“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami
makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah,
menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk
menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah.
Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan
penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan
hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Dialog berhenti sampai di situ. Ny Fadhila menulis Kyai Sholeh tak
bisa berkata apa-apa kecuali subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran
Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke dalam
Bahasa Jawa.
Setelah pertemuan itu, Kyai Sholeh menerjemahkan ayat demi ayat,
juz demi juz. Sebanyak 13 juz terjemahan diberikan sebagai hadiah perkawinan
Kartini. Kartini menyebutnya sebagai kado pernikahan yang ternilai manusia.
Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual.
Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah.
KH Saleh Darat sangat
mempengaruhi pemikiran pejuang wanita Indonesia yaitu RA Kartini, hadiah paling
berharga dalam pernikahannya adalah kitab-kitab yang diterjemahkan dengan huruf
pegon (huruf arab untuk bahasa Jawa) dengan demikian RA Kartini mampu
mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an. Judul tulisannya “Habis Gelap Terbitlah Terang”terinspirasi dari penggalan ayat : “mina dzulumati ila nur“.
Surat yang diterjemahkan
Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya
secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Sayangnya, Kartini tidak pernah
mendapat terjemahan ayat-ayat berikut, karena Kyai Sholeh meninggal dunia.
Cita-cita RA Kartini untuk menjadi seorang pribadi muslimah yang
sholehah telah diselewengkan oleh propaganda Belanda sehingga tercitra
menjadi sekedar sosok pejuang emansipasi wanita.
Jika emansipasi dikonstruksikan sebagai konsep penyetaraan hak dan
kedudukan antara pria-wanita untuk berperan dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan, maka sesungguhnya hal ini merupakan penggeseran cita-cita RA
Kartini dalam menuntut belenggu yang membatasi penterjemahan naskah buku-buku
Islam kedalam bahasa Jawa.
Cita-cita RA Kartini menuntut kebebasan bangsanya dalam menuntut
keterbukaan informasi dan pendidikan yang telah dikekang pemerintah Hindia
Belanda terlebih pembatasan gerak para wanita padahal wanita adalah guru
penting dari anak-anaknya. Dengan demikian secara praktis terjadi pembodohan
tunas-tunas bangsa yang berpotensi ancaman bagi pemerintah kolonial Belanda.
Menolak Westernisasi
Kepopuleran Kartini sebagai penggerak emansipasi wanita Indonesia
mungkin terjadi akibat propaganda kolonial Belanda. Kesimpulan ini dapat
ditarik dari korespondensi Kartini dengan sejumlah tokoh perempuan di negeri
penjajah itu yang kemudian diekspos melalui media dan buku-buku. Semua ini
mungkin sengaja dilakukan Belanda untuk menebar pertentangan dan perpecahan
(Devide at Impera) sebagai taktik untuk menghancurkan dan melemahkan semangat
pemberontakan nasional.
Ditengarai juga sebagai ajang akulturasi budaya dan nilai Belanda
untuk menjamah struktur nilai dan budaya Indonesia agar dapat tunduk dan
simpati kepada kolonial Belanda. Maka tertanamlah di bumi Nusantara bibit-bibit
westernisasi gender penyetaraan antara hak dan kewajiban pria wanita yang
merusak potensi khas bakat yang ada pada perbedaan pria-wanita.
Cobalah
memperhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon:
Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu
benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap
masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang
indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut
disebut peradaban.
Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan
murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.
Dalam
suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis:
Saya
bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi
sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain
memandang Islam sebagai agama disukai.
Perhatikan
pula surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis:
“Ingin benar saya
menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.
Penterjemahan Naskah Kitab-kitab Islam
Dalam
suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini
menulis:
Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam
melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku
beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai
agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?
Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.
Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.
Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.
Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.
Dikutip dari Azhar
Muhammad, Kompasiana.com.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar